Kamuflase jadi timses paslon, banyak perusahaan pers telah ciderai “kehormatan” UU Pers no.40!!
Lensafakta.com, Purwakarta || Entah beneran tidak tau, atau pura-pura “buta dan tuli” belakangan ini banyak kita lihat media online dan cetak ikut-ikutan kampanye politik mendukung paslon yang dijagokannya. Padahal, hal ini jelas bertolak belakang dengan amanat yang tertuang dalam UU pers no. 40 tahun 1999, yakni salah satu maknanya, Pers sebagai sosial kontrol merupakan lembaga yang INDEPENDEN dan tidak memihak.
Namun sangat disayangkan, aturan yang begitu jelas dibuat menjadi RANCU oleh sebagian besar insan pers. Kok bisa-bisanya, seorang jurnalis tidak tau akan aturan ini? Yang lebih mirisnya, bahkan sekelas Pemimpin Redaksi (Pemred) juga ikut berkampanye menyuarakan , mendukung bahkan lebih gila lagi ikut menjadi Timses Paslon yang dipilihnya. Demi mengenyangkan perut rela “membutakan mata” dari aturan dan Undang-Undang?
Tak usah dipungkiri, saat ini banyak sekali kampanye terselubung yang disematkan dalam pemberitaan media online, cetak bahkan televisi. Kalau sudah begini siapa yang mesti disalahkan?? Pundi-pundi yang “mungkin” menggiurkan bagi sebagian orang, meruntuhkan prinsip-prinsip dalam jurnastik sehingga mereka lupa, tugas pokok seorang jurnalis adalah sebagai SOSIAL KONTROL yang mengawasi jalannya demokrasi pemerintahan.
Terlepas dari itu semua, setiap individu warga negara Indonesia memiliki hak politik yang sama, jika melihat dari sudut pandang personal/individu, seorang jurnalis boleh-boleh saja memilih atau mendukung paslon-paslon yang sedang bersaing dikancah demokrasi, karena Hak politik adalah hak individu yang dimiliki setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, termasuk memilih dan dipilih dan merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut atau dihilangkan, terlepas dari apapapun jabatannya. Sebagaimana dimaksud Dalam UUD 1945, hak politik warga negara dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3).
Namun dalam hal ini, ketika politik itu telah melibatkan profesi Jurnalistik secara khusus, maka UU Pers berlaku. Karena pers merupakan lembaga-lembaga independen dan tidak berpihak maknanya adalah *bebas dari pengaruh pemerintah atau kepentingan perusahaan*.
Coba kita berfikir logis, jika sebuah perusahaan pers/media memihak (bahkan terjun dalam politik praktis), maka pertanyaan sederhananya adalah, ketika paslon yang didukungnya tersebut terpilih (entah itu setingkat Pemerintah Desa hingga Presiden) berbuat suatu kesalahan yang harus diketahui publik dalam masa jabatannya, siapkah media tersebut bersikap objektif dalam MEMPUBLIKASIKAN pemberitaan agar “AIB” TUANNYA diketahui masyarakat luas ????
Jujurlah dalam menjawab,
Jika memang siap, silahkan lakukan, tabrak aturan dan ikut kampanye. Saya selaku penulis, pengamat jurnalistik – politik dan HAM sangat meragukan jawaban ini.
Tapi jika tidak siap, jangan jadi “gelandangan politik” jilat sana sini demi meraih keuntungan dalam suatu momen, berlakulah profesional, ikuti aturan dan tunduk pada undang-undang pers yang diamanatkan kontitusi jika masih ingin disebut sebagai seorang JURNALIS!!
Narasi oleh :
Rendy Rahmantha Yusri, A.Md