[Sisi Lain Dunia Jurnalistik] Membantah Opini – Melawan Stigma Negatif Profesi “Jurnalis”
Lensafakta.com, Purwakarta || Sudah menjadi rahasia umum, dikalangan masyarakat (khususnya pegawai pemerintahan), profesi seorang jurnalis adalah profesi yang dianggap penuh dengan intrik dan stigma negatif.
Asumsi yang ada dibenak mereka, Jurnalis itu suka manipulasi fakta, tukang adu-domba, tukang peras, hobby mengintimidasi, dan dinilai suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk diviralkan, gemar disogok, gratifikasi agar tidak viral, dekat dengan glamorisrik dan hiburan malam serta banyak sekali stigma negatif lain yang meliputi dunia kejurnalistikan jika dijabarkan. Kita tidak bisa membantah bahwasannya opini diatas kadang ada benarnya.
Namun FAKTANYA profesi Jurnalis jika ia menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan Undang-Undang Pokok Pers no 40 tahun 1999 yang telah ditetapkan (semasa pemerintahan Presiden BJ Habiebie), kemudian tidak menyalahgunakan kebebasan pers yang dimiliki, serta tidak melawan hukum dan mematuhi – menta’ati semua norma dan Kode Etik Jurnalis (KEJ) yang ada, MAKA profesi jurnalis sebetulnya adalah pekerjaan yang boleh dibilang sungguh mulia.
Bagaimana tidak? Seorang jurnalis memberikan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat yang mungkin selama ini tidak terjangkau atau tidak terexpose, membuka lebar-lebar mata rakyat terkait prilaku para “tuan-tuan berdasi yang duduk di kursi sambil berdiskusi” agar dapat bekerja sesuai amanat konsitusi.
Selain itu, profesi jurnalis dapat menjadi jalan untuk ruang informasi publik dari segala jenis bidang mulai dari sosial, politik, ekonomi, bisnis, olahraga, teknologi bahkan permasalahan hukum, (dll) yang mungkin selama ini tidak diketahui masyarakat banyak.
Namun yang terjadi belakangan ini adalah, kebanyakan oknum dari para “kuli tinta” ini justru memanfaatkan “keleluasaan” yang ia punya untuk mengelabui orang lain, memeras, menakut-nakuti, mengintimidasi, bahkan ada dari mereka rela jadi makelar kasus demi memenuhi kebutuhan hidupnya, pahit memang, namun semua hal diatas suka tidak suka adalah fakta yang memang tidak terbantahkan, miris.
Sudah tentu hal seperti ini jauh melenceng dari tugas pokok jurnalis yang sebenarnya, sehingga memperkuat stigma negatif dan citra buruk terhadap profesi jurnalis itu tadi.
Padahal, jika kita ingin mengkaji hal ini dengan BENAR, seorang jurnalis profesional hanya fokus terhadap berita yang ia publikasikan, menginformasikan kepada masyarakat luas tentang kejadian, mempublikasikan perkembangan terupdate kondisi dinegri ini maupun mancanegara. Seorang jurnalis yang profesional pasti memiliki wawasan yang luas, mampu mengolah suatu kejadian dan mengkonversikan dalam “tulisan”, mempunyai keterampilan dalam menganalisa satu sumber informasi menjadikannya sebuah narasi yang siap saji, sehingga sudah tentu seorang jurnalis profesional HARUSNYA lebih banyak KARYA dan TULISANNYA ketimbang opini miring yang meliputi profesinya.
Sangat disayangkan, opini _miring_ yang terlanjur beredar dimasyarakat terlalu sulit untuk diperbaiki kembali, citra profesi jurnalis terlanjur rusak dimata sebagian orang, bahkan jika seorang jurnalis sudah kembali kepada tugas dan kewajiban pokoknya sesuai aturan yang berlaku, tetap saja dianggap jelek oleh sebagian orang.
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Tak bisa dipungkiri memang karna ulah sebagian “oknum” rekan seprofesi kita jugalah yang suka membuat gaduh dan merusak marwah jurnalis itu sendiri. Bermodalkan KTA, tak punya karya, tak ada skill, petantang-petenteng kesana kemari dengan hanya menghafal satu pasal dalam UU Pokok Pers sebagai “senjata” menyerang orang lain, yakni pasal 18 ayat 1 uu no. 40 tahun 1999 yang makanya kira-kira begini, “Bagi siapapun yang sengaja menghalangi TUGAS PERS berarti melawan tugas negara, dan memiliki konsekuensi hukum pidana dan denda”, jumawa sekali.
Padahal, jelas aturan mainnya, seseorang jurnalis yang bekerja berdasarkan aturan dan kode etik lah yang semestinya dilindungi oleh undang-undang tersebut, bukan dipukul rata semua tugas jurnalis HARUS dilindungi (salah benar belakangan) demi sebuah PEMBENARAN.
Apapun itu, baik-buruknya rekan jurnalis di lapangan, kita tentunya kita satu MARWAH, positive thinkingnya mungkin cara dengan begitu mereka bisa mencukupi kebutuhan anak, istri atau pun keluarganya. Jurnalis adalah satu tubuh, satu sakit, harusnya semua ikut merasakan sakit, khususnya jurnalis yang tergabung dalam satu wadah organisasi.
Seharusnya seorang jurnalis itu sadar betul akan aturan, undang-undang dan hukum yang tidak boleh dilanggar. Bukan malah sebaliknya, jurnalis yang mengotak-atik hukum, menjadi makelar kasus, bahkan anehnya lagi ada pula jurnalis yang justru menjadi “decision maker” pada suatu intansi, bisa menjadi “penentu” hitam-putihnya suatu permasalahan, lho memang ada yang seperti itu??? Maka saya jawab, ADA, bahkan BANYAK.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999 tentang Pers, wartawan adalah profesi yang memiliki dan harus menaati Kode Etik Jurnalistik, dan ini WAJIB dijalankan oleh seorang jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karenanya, mulai saat ini, kita sama-sama berharap SEMUA JURNALIS kembali kepada “kebenaran” yang pasti pernah ia pegang teguh. Buang jauh-juah prilaku menyimpang yang merugikan orang lain, perbuatan yang melawan hukum serta opini buruk yang beredar bahwa kehidupan Jurnalistik dekat dengan dunia glamor, sehingga STIGMA NEGATIF tentang profesi Jurnalis dapat kembali pulih sebagaimana mestinya.
Narasi oleh :
Rendy Rahmantha Yusri, A. Md
[Pemimpin Redaksi Lensafakta.com – Lensa Grup & Wakil Ketua IWOI DPD Kabupaten Bandung]