Polemik ambigu, “Syahwat” Dewan Pers dan “Dosa” UKW yang membelenggu insan pers, siapa yang mesti disalahkan?
[Narasi ini sekaligus sebagai “surat” terbuka bagi Dewan Pers dan seluruh Instansi – institusi pemerintah]
Lensafakta.com, Purwakarta || Ada sebuah hal menggelitik yang selalu menjadi perbincangan bagi para insan pers di ibu pertiwi ini, polemik ambigu yang tak pernah ada habisnya dikalangan para kuli tinta, tak lain dan tak bukan yakni soal penerapan “peraturan” Dewan Pers tentang Uji Kompetensi Wartawan (UKW) DAN “aturan” wajibnya pendataan media di Dewan Pers.
Bagaimana tidak, para insan pers selalu “dihantui” oleh aturan-aturan tersebut diatas yang mana tentunya tidak semua jurnalis itu terverifikasi keabsahannya di Dewan Pers, padahal sebahagian besar dari mereka merupakan orang-orang berpengalaman, memiliki skill dan potensi dalam membuat tulisan/karya jurnalistik, namun akibat terkendala besarnya biaya UKW dan KEHARUSAN melakukan UKW di organisasi yang HANYA dilegalisasi oleh Dewan Pers (agar DIAKUI statusnya), alhasil tak semua rekan pers yang diakui keabsahannya sebagai seorang jurnalis, walaupun realitanya beberapa dari mereka telah mengukuti UKW seadanya secara independen (tapi karena bukan dari organisasi pilihan Dewan Pers, Sertifikat UKW dianggap abal-abal dan bukan produk pers).
Aturan yang sebetulnya tak baku ini dianggap “brutal” dan “ambisius” bagi rekan-rekan pers yang faham sekali DRAMA dibalik itu semua. Menganak-tirikan dan mengerdilkan organisasi-organisasi lain, selain organisasi “anak emasnya” Dewan Pers. Kalau sudah begini, undang-undang tentang kebebasan pers yang tertuang dalam UU pokok pers no 40 ini pun serasa dikhianati oleh hirarki yang ada di organisasi “kiblatnya” para insan pers ini.
Lebih mengherankannya, Instansi pemerintah, dinas serta institusi-institusi yang bermental (katanya) IDEALIS, menggunakan aturan tak baku ini sebagai SENJATA untuk menutupi AIB kebusukannya yang mungkin berjibun. Dengan DALIH “ATURAN”, para pejabat pemerintah berpongah diri MENOLAK MELAYANI wartawan yang tidak UKW dan MENGABAIKAN perusahaan media yang tidak terdaftar di Dewan Pers?
MIRIS, kebebasan pers yang dilindungi undang-undang dan konstitusi dikebiri justru oleh “ibu kandungnya” sendiri (Dewan Pers -red) yangmana harusnya berfungsi untuk menjaga, melindungi dan memayungi para insan pers.
Padahal, beberapa organisasi besar profesional dari dulu telah “menurunkan egonya” untuk mencoba PDKT kepada Dewan Pers agar “diakui” statusnya, tapi lagi-lagi “cinta” mereka ditolak karena ada “syarat dan mahar” yang tak terpenuhi, Dewan Pers ternyata masih “setia” dengan pilihannya yang selalu manut. Pada akhirnya, sebagian dari organisasi-organisasi profesi pers tersebut memilih menjadi independen dan tak lagi berharap “balasan kasih sayang” dari Dewan Pers. Dari sinilah pangkal mulanya polemik itu muncul, banyak dari organisasi tersebut yang membangkang dan “tak sejalan” lagi dengan Dewan Pers.
Dewan Pers yang dianggap sebagai “pemegang tampuk kekuasaan pers” yang diakui pemerintah ini mulai bertindak membuat aturan-aturan untuk membelenggu organisasi-organisasi independen yang tak mau manut dan tunduk tadi, dan tidak mengakui “status” mereka sebagai produk pers, ironis. Terlepas dari itu semua, yang namanya organisasi jika berdirinya memenuhi syarat dan ketentuan undang-undang dasar dan undang-undang pers, sah-sah saja berjalan sebagaimana mestinya, harusnya sih derajatnya SAMA dimata negara, tapi ya sudahlah..
Jika kita simak lebih jauh, untuk media atau organisasi independen saja misalnya, salah satu syarat UTAMA ketika ingin melakukan registrasi ke Dewan Pers, para Pemimpin Redaksi media tersebut atau Ketua organisasinya WAJIB memiliki sertifikasi UKW. Sampai disini masih aman.
Lanjut, namun ketika diinput dengan semua kelengkapan yang ada, system Dewan Pers langsung menolak dan tidak meng-approval, kenapa? sudah ketebak kan alasannya? Yap.. Karena sertifikasi UKW yang dimaksud disini adalah UKW yang dikeluarkan oleh organisasi yang hanya ditunjuk oleh Dewan Pers SAJA.
Artinya disini adalah, secara tidak langsung Dewan Pers membuat aturan yang pada intinya suka/tidak suka MENGIKAT, MENGHARUSKAN, DAN MEMAKSA para insan pers untuk mengikuti alur SYAHWAT dari Dewan Pers, atau Gamblangnya “kalau lo mau DIAKUI, ikutin aturan main gue kalo engga, berarti lo cm anak tiri gue”.
Dengan kata lain, kalau mau terverifikasi, Pemrednya HARUS UKW di organisasi yang hanya DIAKUI oleh Dewan Pers saja.
Sampai disini mungkin terlihat tidak ada masalah serius, kesimpulannya, asal ikuti aturan Dewan Pers maka status kita AMAN. Yang menjadi titik masalah adalah, BIAYA untuk mengikuti UKW di organisasi yang DIAKUI oleh Dewan Pers itu membuat para insan pers jadi “keder“, (sebagai kode etik, saya tidak akan menyebutkan nominalnya) yang jelas, bagi sebagian Pemred yang “berduit” mungkin terasa kecil namun bagi sebagian lain ada yang merasa berat untuk nominal tersebut, terlebih-lebih wartawan media online yang mencari rejeki (hanya) dengan mengandalkan link berita.
Yang membuat hati para insan pers tersayat-sayat adalah tersebarnya “AIB” ini ke para oknum pejabat pemerintah yang panjang akal, sehingga rekan-rekan pers dilapangan seringkalinya DIUSIR ketika hendak meliput suatu pemberitaan. Aturan yang semestinya hanya diketahui dalam internal dunia pers ini dijadikan alat bagi mereka untuk menutup rapat-rapat kebusukannya dari para awak media dengan alasan “belum UKW dan tidak terdaftar di Dewan Pers“, alibi KLASIK untuk membodoh-bodohi masyarakat demi menutupi “borok” mereka yang sudah kronis.
Efek dari semua itu adalah, keselamatan para insan pers menjadi rentan, banyak terjadinya intervensi, kriminalisasi dan bahkan kekerasan terhadap jurnalis. MARWAH sebagian dari mereka menjadi jatuh, ketika terbentur masalah tak terayomi dengan baik oleh Dewan Pers karena dianggap bukan produk mereka, sehingga akhirnya para jurnalis lebih trust kepada organisasi independen tempat media mereka bernaung, dimana rata-rata Ketua Umumnya sangat melindungi dan mengayomi “anak-anaknya”, make sence.
Kalau kita telusuri lagi, Dewan Pers sendiri bahkan pernah “membual” dengan membuat klarifikasi terkait beredarnya isu tentang ketidakwajiban perusahaan pers untuk didaftarkan ke dewan pers, tertuang dalam surat edaran Dewan Pers melalui siaran pers nomor 07/SP-DP/II/2023 yang mana pada point pertama mengatakan :
“UU no. 40 tahun 1999 tentang pers yang saat itu lahir di era reformasi TIDAK MENGENAL PENDAFTARAN BAGI PERUSAHAAN PERS, yangmana setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan TUGAS JURNALISTIK tanpa harus mendaftar ke lembaga manapun, TERMASUK DEWAN PERS. SETIAP PERUSAHAAN PERS SEPANJANG MEMENUHI SYARAT BERBADAN HUKUM DI INDONESIA dan MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK SECARA TERATUR, SECARA LEGAL FORMAL BERDASARKAN PASAL 9 AYAT (2) UU PERS DAN KODE ETIK JURNALISTIK DAPAT DISEBUT *SEBAGAI* PERUSAHAN PERS, SEKALIPUN BELUM TERDATA DI DEWAN PERS”
Dari keterangan diatas, jelas UU pokok pers no. 40 tahun 1999 telah mengatur tentang hal tersebut jauh sebelum isu pendaftaran itu muncul.
Jadi siapa yang mesti disalahkan???
Narasi oleh :
Rendy Rahmantha Yusri, A. Md
(Pemimpin Redaksi Lensafakta.com – Lensafakta grup & Wakil Ketua IWO-Indonesia DPD kabupaten Bandung
Hanya seorang penulis & jurnalis “abal-abal” pemegang 3 sertifikasi UKW dan kejurnalistikan tahun 2019, 2021, dan 2023 dari lembaga yang pernah “akrab” dengan Dewan Pers)