Jurnalis kok nggak bisa nulis?
Lensafakta.com, Jakarta || Sebuah fenomena yang cukup unik saat ini kian terjadi didunia kejurnalistikan, profesi jurnalis yang katanya sebagai pilar ke 4 yang menjadi sosial kontrol dalam proses demokrasi di negri pertiwi justru menjadi polemik yang tak ada habisnya. Bagaimana tidak, berapa banyak orang yang mengaku-aku sebagai jusnalis namun tidak bisa menulis sebuah pemberitaan ? (membuat sebuah karya / narasi -red)
Loh.. Katanya jurnalis, kok ga bisa nulis?
Profesi jurnalis hanyalah sebagai bantalan untuk terobos sana terobos sini menakut-nakuti orang, percaya atau tidak itulah realitanya yang terjadi.
Sangat disayangkan, marwah profesi jurnalis rusak gara-gara oknum yang suka memanfaatkan label “Jurnalis” bukan untuk bekerja sesuai kode etiknya, namun justru untuk meraup keuntungan pribadi dan mengenyangkan perut sendiri tanpa peduli aturan.
Narasi ini bukan tentang idealisme yang mengandung tendensial terhadap para jurnalis yang nakal dan abal-abal, namun, narasi ini menyadarkan kita bahwa banyak di luar sana “rekan-rekan seprofesi kita” (anggaplah begitu) yang mengaku-aku sebagai jurnalis namun tak punya karya apa-apa, tak tau kode etik, ngenesnya lagi tak mengerti aturan, main hantam sana sini BERMODALKAN KTA PERS.
Harusnya, seorang jurnalis itu dihargai karena tulisan dan karyanya, bukan karena statusnya. Seorang jurnalis mestinya mampu mengolah suatu kejadian dan mengangkatnya dalam sebuah berita, baik opini, artikel ataupun narasi headline agar demokrasi dinegara ini berjalan dengan semestinya.
Adalah kewajiban bagi kita, mengangkat kembali marwah jurnalis yang telah rusak oleh oknum-oknum yang tidak tau diri, agar nama baik jurnalis “pulih” dan kembali kepada tugas pokok sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang pers no. 40 tahun 1999.
Kami sebagai orang-orang yang cukup lama berkecimpung didunia kejurnalistikan, terkadang sangat miris melihat keadaan orang-orang yang dengan seenaknya petantang-petenteng kesana kemari bawa KTA yang katanya “jurnalis” namun ketika ditanya terkait tugas dan kode etik pun tak ada yang bisa menjawab (boro-boro ditanya tentang undang-undang, padahal setidaknya jurnalis harus tau undang-undang).
Tak ada karya, tak bisa menulis berita, tak bisa menginvestigasi, tak mengerti undang-undang dan kode etik kejurnalistikan, lalu ketika disentil terkait ini seketika marah dan tersinggung, ujung-ujungnya ya Viral
(bukannya belajar dan memperbaiki diri).
Jika seorang jurnalis tidak memiliki kemampuan tersebut diatas, lantas apa yang mereka punya agar dianggap PANTAS disebut seorang “JURNALIS”???
(Rendy Rahmantha Yusri, A. Md)