Opini keadilan, “menutup mata” dari kebenaran
Lensafakta.com, Jakarta || Sudah menjadi rahasia umum, di negeri +62 ini kata “keadilan” merupakan sesuatu yang bersifat perspektif. Jika kita melihat dari sudut pandang hukum, keadilan merupakan suatu produk Yudikatif yang maknanya adalah sesuatu yang dapat dibuktikan, dijelaskan dan diputuskan dalam timbangan hukum sesuai undang-undang yang berlaku, maka itu adalah sebuah KEBENARAN.
Terlepas dari nurani dan realita, segala putusan hukum bersifat SAH dimata negara yang berazazkan Pancasila dan Undang-Undang dasar.
Salah satu bukti kongkrit yang semisal terjadi, objek yang jelas-jelas melakukan kesalahan dan pelanggaran, jika dianggap tidak memenuhi unsur (dalam perspektif hukum) maka tidak dapat dijerat dengan pidana atau perdata apapun, begitupun sebaliknya.
Walaupun di dalam konstitusi hukum adalah bersifat absolute (mutlak), namun pada kenyataannya hukum akan menjadi relatif jika dilihat dari perbedaan pandangan dikarenakan hukum adalah seni berinterpretasi, terhadap suatu fakta dan fenomena. Dalam konteks ini, kecerdasan berbahasa punya hubungan erat dengan kebenaran hukum itu sendiri. Di dalam doktrin hukum ada yang namanya argumentasi hukum, ketika kita bicara argumentasi hukum, maka penguasaan hukum sendiri menjadi sesuatu hal yang mutlak.
Jika kita mengambil referensi, kita dapat mengutip perkataan seorang pakar hukum, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M. Hum yang mengatakan, “Ketika berbicara mengenai kebenaran hukum, ini pun tidak bisa terlepas dari faktor-faktor di luar sistem hukum sendiri, terutama sosial dan budaya. Sebagaimana kita ketahui bersama; ibi society, ibi ius, artinya di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Ini menandakan bahwa masyarakat setempat sangat mewarnai keberadaan dan kebenaran hukum,”
“Contoh yang mudah bagi kita, bahwa hukum bersifat netral, tergantung bagaimana kita membacanya, bahwa pada tahun 1825-1830, seorang Jawa, Raden Mas Ontowiryo, berkelahi dengan Jenderal Den Hock, ini fakta. Kalau fakta itu ditulis di Indonesia, kita akan mengatakana Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro adalah pahlawan, dan Jendral Den Hock adalah penjajah. Namun, kalau fakta itu ditulis dari belanda, maka Jenderal Den Hock adalah pejuang dan Diponegoro itu adalah seorang ekstremis,” papar Prof. Oemar Syarif saat memberikan seminar nasional yang diambil dari sebuah artikel.
Terlepas dari itu semua, bagaimana jika yang memegang tampuk hukum yang dianggap absolute tersebut jika dihadapkan dengan persoalan mental pecundang, suap dan gratifikasi? Kita tidak bisa pungkiri lagi, memang hukum di negara kita merupakan “produk” yang bisa diperjual belikan sehingga hukum yang KATANYA bersifat absolute tadi bisa menjadi sangat flexibel karena sebuah “satu dan lain HAL”.
Pada akhirnya, banyak dari mereka menutup mata dari yang namanya keadilan. Keadilan hanya tinggal sebuah SLOGAN yang digembor-gemborkan OKNUM-OKNUM penegak hukum yang perutnya kenyang dipenuhi sampah suap dan gratifikasi.
Yaa, inilah realitanya, kita berada pada zaman dimana hukum hanya sebuah PAMOR, Undang-Undang tinggal TULISAN dan Keadilan hanya sebuah KUTIPAN KATA.
ARTIKEL ini dibuat oleh :
Rendy Rahmantha Yusri, A.Md
[Pemimpin Redaksi lensafakta.com dan Wakil Ketua IWOI DPD kabupaten Bandung]
note,
Sumber dari beberapa referensi hukum dan mengambil kutipan kata tentang hukum dari seorang pakar hukum