Lensafakta.com, Cianjur || Dugaan praktik mafia tanah mencuat di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur. Sejumlah kepala desa diduga kuat menjadi biong tanah dalam proyek pembebasan lahan garapan masyarakat yang berstatus tanah negara oleh pihak PT Intan. Informasi yang dihimpun menunjukkan adanya potongan harga, manipulasi data, dan aliran dana misterius yang menguap ke tangan oknum.
Berdasarkan hasil penelusuran lapangan, sedikitnya lima desa di Kecamatan Agrabinta terlibat dalam proyek tersebut. Kelima desa itu antara lain Desa Mekarsari, Bojong Kaso, Sukamanah, Bunisari, dan Mulyasari, dengan total luas lahan yang dibebaskan mencapai 2.350 hektare. Dari jumlah tersebut, Desa Mekarsari memiliki lahan seluas 170 hektare, sementara Desa Bojong Kaso mencapai 350 hektare.
Menurut sumber terpercaya, pihak PT Intan melakukan pembayaran melalui rekening warga penggarap dengan nilai Rp4.000 per meter. Namun kenyataannya, masyarakat hanya menerima Rp3.000 per meter. Selisih Rp1.000 per meter diduga dipotong oleh para kepala desa dengan alasan untuk “biaya koordinasi” dan “kepentingan pertemuan”.
Jika dihitung dari total lahan seluas 2.350 hektare, potongan sebesar Rp1.000 per meter berpotensi menghasilkan dana sekitar Rp23,5 miliar. Jumlah yang fantastis ini diyakini mengalir ke kantong sejumlah oknum kepala desa dan pihak tertentu yang terlibat dalam proyek pembebasan tanah tersebut.
• Dana Koordinasi dan Dugaan Aliran ke Oknum Atas
Dari informasi yang dihimpun, dana koordinasi di tingkat bawah diduga dikelola oleh Emul Mulyana, Penjabat Kepala Desa Mekarsari. Sedangkan dana koordinasi di tingkat atas disebut-sebut mengalir kepada oknum aparat penegak hukum (APH) yang dikendalikan oleh Budi Gondrong dan Eko.
Kedua nama tersebut kerap disebut oleh warga sebagai penghubung yang memiliki peran penting dalam mengatur jalannya pembebasan lahan di Agrabinta.
Warga pun mulai bersuara. Mereka menilai para kepala desa yang semestinya menjadi pelindung rakyat justru berperan sebagai pelaku utama dalam perampasan hak masyarakat penggarap.
“Kami merasa ditipu. Uang kami dipotong tanpa penjelasan. Katanya untuk rapat dan koordinasi, tapi kenyataannya kami tidak pernah tahu uang itu ke mana,” ujar salah seorang warga Desa Mekarsari yang meminta identitasnya dirahasiakan.
• Manipulasi Data dan Rekayasa Peta Tanah
Selain potongan dana, muncul pula dugaan rekayasa titik koordinat dan manipulasi data lahan. Beberapa lahan warga yang sebelumnya berada di lokasi berbeda kini disatukan menjadi satu hamparan dalam peta usulan yang diajukan ke PT Intan.
Langkah ini diduga dilakukan untuk memperluas klaim, sehingga nilai pembayaran tanah menjadi lebih besar dan mudah dikendalikan oleh oknum.
Bahkan, sejumlah warga melaporkan bahwa data pribadi mereka dipinjam oleh oknum kepala desa untuk diajukan ke PT Intan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
“Nama saya digunakan dalam data pembebasan tanah, padahal saya tidak pernah menjual lahan. Tiba-tiba saya dengar nama saya ada di daftar penerima uang,” ungkap warga Bojong Kaso lainnya dengan nada kesal.
Padahal, berdasarkan peraturan pertanahan, tanah garapan negara tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak swasta atau luar daerah. Ketentuan ini seharusnya melindungi masyarakat lokal sebagai penggarap sah, bukan dijadikan komoditas oleh oknum kepala desa yang mencari keuntungan pribadi.
• Gaya Hidup Mewah di Balik Jeritan Rakyat
Ironisnya, di tengah keresahan warga, sejumlah kepala desa di wilayah Agrabinta justru tampak menikmati kemewahan baru. Informasi dari masyarakat menyebutkan beberapa di antara mereka kini memiliki mobil pribadi baru dan gaya hidup meningkat drastis setelah proyek pembebasan tanah berlangsung.
“Dulu naik motor bebek, sekarang sudah ganti mobil. Dari mana uangnya kalau bukan dari proyek tanah itu?” sindir seorang warga dengan nada getir.
• Desakan Aktivis: Usut Tuntas, Jangan Ada yang Kebal!
Menanggapi situasi ini, Mastur, Ketua Aktivis Pemerhati Masyarakat Cianjur, mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak cepat. Ia menyebut indikasi permainan uang rakyat dalam proyek pembebasan tanah di Agrabinta sudah sangat jelas.
“Kami akan segera melaporkan kasus ini ke Ditkrimsus Polda Jawa Barat. Kami tidak ingin mafia tanah ini terus bermain di atas penderitaan masyarakat kecil,” tegas Mastur.
Ia juga mendesak pihak PT Intan agar menghentikan sementara seluruh proses pembayaran yang belum tuntas dan meninjau ulang data penerima yang terindikasi manipulatif.
“Kalau pembayaran dilakukan di atas data palsu, itu bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi kejahatan yang merugikan rakyat,” tambahnya.
• Harapan Rakyat dan Seruan Hukum
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum benar-benar serius dalam menindak dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum kepala desa di Agrabinta. Mereka meminta agar semua pihak yang terlibat — baik di tingkat desa maupun di atasnya — diproses sesuai hukum.
Kasus ini menjadi potret suram wajah pemerintahan desa di Indonesia. Ketika amanah publik dijual demi kekayaan pribadi, maka kepercayaan rakyat hancur, dan hukum kehilangan wibawa.
“Kami hanya ingin keadilan. Tanah ini kami garap bertahun-tahun, jangan dirampas dengan alasan proyek,” ujar seorang warga Bunisari lirih.
Kini, bola panas ada di tangan aparat penegak hukum. Publik menanti langkah konkret dari Polda Jawa Barat untuk mengungkap tuntas skandal pembebasan tanah senilai miliaran rupiah di Agrabinta — agar keadilan benar-benar berpihak kepada rakyat kecil, bukan pada mereka yang bersembunyi di balik jabatan. (RH/Red)




