Antara polemik “kriminalisasi jurnalis & profesi yang harus dilindungi”, blunder mendefinisikan makna..!
Lensafakta.com, Kab Bandung || Ada hal yang cukup menggelitik, ketika kita melihat pintasan status yang semraut beredar di media sosial, khususnya didunia kejurnalistikan terkait “kriminalisasi jurnalis”, dengan mengutip slogan bahasa dari salah satu petinggi negara, bp Prof, Mahfud MD, yang isinya kira-kita begini “Jurnalis bukanlah musuh, pekerjaan jurnalis jangan diganggu..Jika ada yang memusuhi jurnalis berarti ada kesalahan yang ditutupi,, dst..”
Tidak ada yang salah dari ungkapan tersebut, karena jurnalis memang dilindungi oleh UU pokok pers. Yang salah adalah penafsirannya, sehingga muncul pertanyaan “jurnalis yang bagaimana yang tidak boleh diganggu tugasnya??
Mari kita bahas,
Seorang “Jurnalis” / “wartawan” haruslah faham dan mengerti tentang aturan dan kode etik dalam bertugas, orang yang mampu untuk berimajinasi dan mengkaryakan pada sebuah lisan & tulisan, orang yang memiliki intelegensi yang baik, mengolah, menganalisa suatu kejadian, memahami prinsip dasar undang-undang hukum negara dan etika profesi serta mampu bersosialisasi dengan lingkungannya, ini merupakan “aturan tak tertulis” dalam profesi sebagai jurnalis.
Bagaimana mungkin, seorang yang katanya jurnalis, membuat satu pemberitaan saja tak bisa? Bermodalkan pas foto, ktp, dan uang admistrasi – seseorang yang tidak tau backgroundnya darimana bisa langsung langsung “dilantik” berprofesi menjadi seorang jurnalis dan memiliki KTA Pers yang katanya sakti, wow keren…
Bahkan, tulisan yang masih “belepotan” pun menjadi saksi bisu “sang jurnalis” itu sendiri tak memahami ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan dari narasi, melainkan di percakapan chat, tulisan sehari-hari pun kadang sulit buat difahami karena cenderung “acakadul” (apalagi disuruh bikin narasi? bisa – bisa nyatu semua hurufnya).
Heran memang, aturan perundang-undangan terkait pers yang masih amburadul dan terkesan terombang-ambing menjadikan oknum-oknum nakal memanfaatkannya. Memeras, mengancam, mengintimidasi serta menjadikan profesinya sebagai lahan/wadah untuk pelampiasan tendensial pribadinya kepada seseorang atau orang banyak.
Tak heran, terkadang setiap instansi baik pemerintah ataupun swasta menerapkan aturan standarisasi HANYA melayani pertanyaan/wawancara dari wartawan yang sudah UKW/SKW saja.
“Setidaknya mereka mengerti tentang aturan dan kode etik, tidak main hantam berita saja” begitu kata seorang narasumber yang pernah diwawancarai terkait standarisasi ini.
Yaaa walaupun UKW tak menjamin seseorang jurnalis otomatis menjadi profesional lantas berpongah diri, karena syarat UKW bukan sepenuhnya harus pintar dibidang jurnalistik, namun syarat utama UKW/SKW adalah dompet yang TEBAL.
Disisi lain dengan UKW tentunya menjadi salah satu keabsahan seorang jurnalis, sehingga tak bisa dipandang sebelah mata, jika dianalogikan sama halnya dengan SIM (surat izin mengemudi), tak semua orang punya uang untuk membuat dan memiliki SIM walaupun dia sudah mahir dalam berkendara,, TAPI semua orang yang punya SIM setidaknya memiliki admistrasi yang lengkap dimata hukum dan negara WALAUPUN dia sama sekali tak bisa berkendara atau tak mahir berkendara, bukankah begitu?
Kita ambil kutipan dari seorang Profesor Filsuf bernama bung Rocky Gerung : _“Ijazah/sertifikat itu tanda seseorang pernah sekolah, BUKAN tanda seseorang pernah berfikir”._
Kenyataannya memang demikian, betapa banyak rekan-rekan yang memiliki kemampuan dibidang jurnalistik namun belum memiliki sertifikat UKW karena terkendala finansial & kurangnya akses menuju kesana, ATAU sebaliknya, berapa banyak rekan-rekan wartawan yang punya uang lalu ikut UKW walaupun “ga pinter-pinter banget” dibidang jurnalistik.
Namun yang lebih parahnya lagi, ada eh banyak yang berprofesi “katanya” wartawan (wartawan katanya), tidak punya skill, tidak mumpuni dilapangan, tidak bisa mengolah narasi menjadi suatu berita, tidak tau sama sekali tentang kode etik dan pastinya tidak pernah mengikuti UKW/SKW, TAPI sudah merasa pintar sendiri
Lucunya lagi, mereka TIDAK MAU BELAJAR, hanya modal nekad dan muka tebal berpongah diri memiliki dengan KTA pers yang ia bawa kesana – kemari dengan statusnya sebagai “Wartawan”, katanya.
So,
#Wartawan yang mana dulu nih..?
Rendy Rahmantha Yusri, A.Md
[Pemimpin Redaksi]