UU ITE direvisi, kebebasan pers dibungkam, tuan-tuan berdasi di DPR apa yang sedang kalian rencanakan?
Lensafakta.com, kabupaten Bandung || Beberapa minggu terakhir, tuan-tuan YANG TERHORMAT anggota DPR menSAHkan revisi undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik atau ITE. Pasal yang sudah 2 kali direvisi tersebut yakni UU no 11 tahun 2008 dan disahkan sebagai undang-undang pada 6 Desember 2023 lalu.
Pasal yang dimaksud adalah pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan/fitnah dan/atau pencemaran nama baik yang mana ancaman lainnya datang dari pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran berita bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan akan dipenjara selama 6 tahun dan denda 1 milyar rupiah.
Pasal-pasal yang direvisi itu menurut dewan pers sendiri sangat berpotensi untuk “mengebiri” Insan Pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan melalui sarana teknologi dan informasi elektronik di internet terkait kasus-kasus KORUPSI, MANIPULASI dan Sengketa dapat dinilai oleh PIHAK TERTENTU sebagai penyebaran pencemaran nama baik dan kebencian yang mana dapat dipidanakan dengan ancaman 6 tahun penjara, aparat kepolisian dapat menahan seseorang lebih dari 120 hari termasuk WARTAWAN atas dasar TUDUHAN PENYEBARAN BERITA BOHONG sebagaimana yang DIATUR dalam revisi kedua undang-undang tersebut yang mana ARTINYA secara tidak langsung dapat disalahgunakan atau dijadikan senjata bagi pihak-pihak tertentu untuk menyerang balik Pers dan MEMBUNGKAM kebebasan Pers sehingga menciderai upata mewujudkan negara yang “katanya” demokratis.
Sungguh mencengangkan, jika revisi undang-undang ini tetap disahkan menjadi undang-undang oleh tuan-tuan DPR, muncul pertanyaan, seberapa besar AIB yang tuan-tuan terhormat ingin tutupi sampai-sampai mengekang kebebasan pers dan mengakali undang-undang sebagai senjata kalian untuk “membela diri” menyerang balik insan pers?
Tentu tuan-tuan dewan sendiri yang tau jawabannya…
Kalau dilihat secara sepintas memang tidak ada yang salah dengan revisi undang-undang tersebut, namun jika ditelaah lebih dalam lagi SEMUA insan pers pasti faham bahwasanya revisi undang-undang itu JELAS merupakan UPAYA untuk membatasi kebebasan berekspresi dari insan pers.
Padalah, kebebasan pers merupakan HAK bagi setiap insan pers (dengan catatan tentunya mengikuti kode etik yang ada -red). Insan pers yang profesional tentunya sangat MEMAHAMI kode etik jurnalistik dalam menyebarluaskan suatu pemberitaan, bukan hanya sekedar “koar-koar” belaka saja. Mereka menyusun suatu narasi pemberitaan pastinya mengacu pada fakta dan DATA.
Namun, kok bisa-bisanya tuan-tuan di DPR sebegitu ketar-ketirnya menghadapi pers dengan kebebasan berekspresinya? Jangan-jangan banyak rahasia di SENAYAN yang takut terbongkar?? Jika pasal REVISIAN itu tetap disahkan menjadi undang-undang, maka jangan heran nantinya apabila wartawan suatu media memberitakan tentang “oknum” pemerintah yang KORUPSI (by data) maka sang oknum tersebut bisa menuntut balik wartawan ATAUPUN medianya dengan tuduhan “pencemaran nama baik”, ATAU bisa jadi ” OKNUM” dengan seragam coklat yang ketauan pungli bisa menuntut balik wartawan dengan dalih “fitnah dan menyebarkan berita bohong”, KOCAK…Siap-siap untuk tertawa…
Rendy Rahmantha Yusri, A. Md
(Pemimpin Redaksi lensafakta.com & Wakil Ketua IWOI kab Bandung)