“Wartawan” nihil karya ?
Lensafakta.com, Kab Bandung || Sudah menjadi rahasia umum, banyak dari rekan-rekan seprofesi kita (wartawan -red) diluaran sana yang belum memahami betul kode etik kejurnalistikan dalam bertugas. Sehingga, sebagian besar dari mereka hanya bermodalkan KTA dan surat tugas dari satu perusahaan media, lalu petantang-petenteng masuk ke birokrasi pemerintahan seperti kelurahan, kecamatan, dinas bahkan ke instansi untuk meminta-minta “jatah” koordinasi ala-ala LSM ataupun Ormas (bukan bermaksud merendahkan, karena tupoksinya berbeda).
Kalau tak mendapati keinginannya maka si subject atau object yang disambangi “terancam” akan dicari-cari kesalahannya dan diexpose di media masing-masing (katanya).
Padahal jika di tela’ah lebih dalam, antara Lembaga (LSM), Ormas dengan Media (Pers) tupoksinya sangatlah jauh berbeda. Mulai dari perizinannya, strukturalnya, bahkan kegiatan serta pola kerjanya pun sangat berbeda.
Sebagaimana diketahui, LSM atau Lembaga Swadaya Masyarakat dibentuk atas kesukarelaan individu/kelompok dan diperuntukan untuk memberikan layanan kepada masyarakat/pemberdayaan TANPA berorientasi pada keuntungan. Peran LSM juga cukup signifikan dalam proses demokrasi.
Sedangkan, Organisasi Massa (Ormas) adalah sekumpulan Masyarakat yang membentuk sebuah kelompok, wadah yang bertujuan sama, satu arah, satu pemikiran untuk mencapai sebuah kepentingan dalam suatu kegiatan (Dasar hukum Pasal 1 Undang – Undang No. 17 Tahun 2013).
Lalu bagaimana dengan Pers/wartawan? Secara garis besar wartawan dapat dimaknai dengan _seseorang yang mencari, mengolah, menganalisa, menulis dan menyebarluaskan suatu kejadian/pemberitaan dengan narasi, gambar maupun video_.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa seorang wartawan HARUSLAH (Wajib) bisa mengolah suatu kejadian dalam sebuah NARASI menjadi suatu pemberitaan yang siap saji.
LALU, bagaimana jika seorang wartawan tidak mampu menganalisa, mengolah bahkan menulis sebuah narasi pemberitaan? pada kenyataannya, inilah yang terjadi dilapangan, sebahagian besar wartawan yang notabenenya bertugas untuk menginformasikan sebuah berita kepada masyarakat JUSTRU tidak mampu membuat berita itu sendiri.
Mereka hanya mengandalkan “kartu sakti” (KTA Pers) yang katanya bisa menembus birokrasi dengan pasal andalan UU pokok pers no.40 tahun 1999 yang di sah kan oleh Presiden BJ. Habibie sebagai payung hukum.
Berbekalkan “kartu sakti” tersebut, para wartawan memeras, mengancam targetnya yang kebanyakan dari pegawai pemerintahan maupun swasta.
Miris, wartawan tanpa karya atau nihil karya merupakan fenomena yang aneh namun terjadi di-era ini. Harusnya, setiap wartawan itu dibekali dengan kemampuan-kemampuan dasar jurnalistik, yakni mencari, menganalisa, mengolah dan menulis sebuah narasi.
Lanjut lagi, setiap wartawan juga harus dibekali dengan pengetahuan tentang UU atau pasal yang umum (KUHP-KUAHP-KUH Perdata, dll), apalagi tentang UU pokok pers beserta poin-poinnya.
Bagaimana tidak menjadi sorotan dan juga menjadi AIB jika seorang “wartawan” ditanya tentang UU pokok pers saja tidak tau dan planga-plongo??
Kontrol Dewan Pers terhadap media-media yang berkembang luas pun sangat minim, terlebih Dewan Pers tidak mewajibkan pendataan terhadap media-media yang tumbuh baru-baru ini.
Alhasil, banyak dari media-media liar yang dengan bermodalkan “web” portal berita seenaknya menjadikan seseorang berprofesi menjadi “wartawan” tanpa tau backgroundnya seperti apa serta tak membekalinya dengan kemampuan dasar seorang wartawan/jurnalis. Bisa ditebak, ujung-ujungnya kemana ?
Sebuah karya tulis, narasi, artikel adalah produknya dari seorang wartawan atau jurnalis. Kemampuan dalam berimajinasi mengarang dan merealisasikannya pada tulisan adalah hal pokok dalam dunia pers.
Apa jadinya, jika seorang wartawan nihil prestasi dan karya diberikan KTA / “kartu sakti” dari sebuah perusahaan media? Bisa-bisa slanang – slonong kesana kemari tanpa tau aturan dan kode etik. NAMUN FAKTA MENYEDIHKANNYA adalah, inilah realita yang terjadi sekarang sehingga menimbulkan banyak sekali polemik dan kejadian-kejadian yang diluar dugaan kepada “sang kuli tinta”.
Ket : gambar ilustrasi (milik google)
Salam satu pena,
Rendy Rahmantha Yusri, A.Md
(Pemimpin Redaksi lensafakta.com)