Lensafakta.com, Purwakarta | | Judul narasi diatas mungkin sebelumnya pernah saya publikasikan di media-media online dan cetak sekitar 2 tahun lalu, sebagai bentuk curahan keprihatinan saya akan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak dari “rekan” seprofesi kita yang katanya Jurnalis atau Wartawan, tapi ngga bisa nulis, ngga bisa bikin narasi berita, ngga ada karya tulis dan ngga punya skill jurnalistik, jelas hal ini tidak relevan dengan maksud dan tujuan pers itu sendiri sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang.

Ga usah terlalu jauh menanyakan tentang sejarah jurnalisme, tokoh jurnalistik, KEJ, dasar-dasar pokok seorang jurnalis, fungsi dan tujuan serta definisi Jurnastik sesuai undang-undang pers, bahkan ditanya hal sederhana tentang nomor undang-undang yang menjadi payung hukum bagi insan pers saja planga-plongo. Orientasi mereka hanya uang, bukan pada kebenaran sebagaimana poin pertama dalam elemen pokok seorang jurnalis.

Bisa ditebak, jurnalis seperti ini yang dihafal hanya satu pasal saja dalam Undang-Undang pers no 40 tahun 1999, tau kan pasalnya?

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers, yaitu menghalangi kebebasan pers dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, dapat dipidana”

yap, pasal 18 ayat (1) dalam UU pokok pers.

Hanya itu saja yang dihafal mereka sebagai “tameng” untuk melakukan tugas jurnalistik, katanya. Tanpa mereka ketahui penjabaran secara kongkrit, jurnalis yang bagaimanakah yang dilindungi undang-undang dan berhak berpayung hukum pada undang-undang pers tersebut!.

Ini sebuah kemunduran dalam dunia jurnalistik, dimana seseorang dengan mudahnya mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) wartawan, lalu tanpa bekal yang cukup terabas sana terabas sini, bermodalkan KTA dan Surat Tugas (ala-ala) petantang-petenteng kesana kemari, dengan satu tujuan, yaitu memeras dan mengintimidasi untuk meraup keuntungan. Boro-boro punya karya tulis, artikel ataupun jurnal, modalnya hanya mental yang cukup, tahan malu dan nekat mengeluarkan retorika-retorika dungu untuk berargumentasi dengan lawan bicaranya.

Saya tidak mengatakan keabsahan seorang jurnalis itu harus melalui proses sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dulu, karena faktanya banyak dari wartawan yang katanya udah UKW tapi masih blo’on-blo’on juga, atau bahkan sebaliknya. Namun setidaknya, ketika anda menyandang status “Jurnalis” harusnya anda faham, jurnalis bukan hanya sekedar status melainkan profesi mulia dalam menyuarakan suara rakyat sebagai pilar ke 4 dalam berjalannya demokrasi sesuai dengan aturan yang dilindungi oleh undang-undang dalam konstitusi.

Maka dari itu, tidak salah juga saat ini stigma negatif beredar baik dikalangan dimasyarakat awam bahkan hingga orang berdasi sekali pun, paradigma yang melekat pada mereka adalah “jurnalis itu meresahkan dan hanya bisa memeras, mengintimidasi dan mencari-cari kesalahan”.

Saya berasumsi, dalam sudut pandang mereka, (sirkel jurnalis ala-ala), “jurnalis” yang paling hebat adalah jurnalis yang paling jago memerasnya, paling terkenal raja tega, paling pinter nyari-nyari kesalahan dan paling banyak uang untuk foya-foya. Sakit hati sedikit, bikin berita, ngga dikasih uang, berita rilis. Walaupun mereka akan main safety player dengan menggunakan bahasa “diduga” agar tidak terjerat pencemaran nama baik. Betul apa betul?

Jika begini keadaannya, wajah dunia pers di negeri kita akan suram, Jurnalis tidak lagi berorientasi pada kebenaran melainkan kepada materi. Jurnalis tidak lagi bersuara lantang melainkan hanya mengutamakan kepentingan. Bahkan lebih miris lagi, jurnalis banyak yang menjadi penjilat pemerintahan demi tujuan-tujuan tertentu mereka tak peduli lagi tentang marwah dan kehormatan, logika mereka menjadi TUMPUL. Kusut memang, tapi itulah faktanya, dunia jurnalistik sedang mengalami keterpurukan akal sehat dan SDM.

(Rendy Rahmantha Yusri, A.Md., CLDSI)