Oleh :

[Rendy Rahmantha Yusri, A.Md., CLDSI]

Lensafakta.com, Purwakarta || Seorang kepala bidang (Kabid) disalah satu dinas di Purwakarta, Jawa Barat sepertinya harus diberikan pemahaman tentang undang-undang pers yang lebih mendalam lagi agar wawasannya terkait jurnalistik lebih terbuka. Pasalnya, ketika kami mencoba konfirmasi melalui pesan WhatsApp mengenai proyek berjalan yang menjadi tanggung jawabnya, sang Kabid malah mempertanyakan sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai bentuk keabsahan seorang jurnalis.

Blunder yang dilakukan pak Kabid ini sontak membuat kami tersenyum lebar, seseorang yang notabenenya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang cenderung bukan orang yang berkompeten dibidang jurnalistik dan tidak pula memiliki wewenang, justru malah mempertanyakan sertifikasi dan “mengintrogasi” seorang wartawan sebagai SOSIAL KONTROL disaat ingin memberikan hak jawab dan hak koreksi kepadanya. Padahal hal jawab dan hak koreksi merupakan hak yang wajib diberikan seorang jurnalis sebelum sebuah pemberitaan dipublikasikan (pasal 11 KEJ, UU Pers).

Hal ini tentunya membuat kami berasumsi liar, adakah upaya tersebut merupakan alibi untuk menutup-nutupi sesuatu dengan membatasi kebebasan pers dengan cara memberikan shocktherapy ke permasalahan yang sebebetulnya sudah menjadi polemik usang?

Saya katakan dengan jelas, UKW memang merupakan polemik usang yang sudah tidak relevan lagi untuk dibahas, kita ketahui banyak conflict of interest yang terjadi jika kita ingin mengupas tuntas terkait hal ini. Sekarang bukan lagi zamannya para pejabat pemerintah mempertanyakan UKW seorang wartawan, bahkan sampai mempertanyakan status keabsahan perusahaan media di Dewan Pers, dimana Dewan Pers sendiri pernah “membual ” dalam siaran persnya no.007 tahun 2023 dimana perusahaan pers bebas menjalankan kegiatan jurnalistik dan tidak perlu mendaftar di organisasi mana pun termasuk Dewan Pers, selagi mengikuti aturan, tidak melanggar hukum dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), so what?

Terkait UKW, jika ingin diperjelas, Ketua Dewan Pers 2025, Komarudin Hidayat juga mengeluarkan statement dimana seorang wartawan, walaupun belum UKW (Pratama, Madya, Utama) tidak menghalanginya untuk melakukan kegiatan jurnalistik, sehingga apabila terjadi permasalahan terkait kejurnalistikan maka akan tetap dikembalikan kepada Dewan Pers. Ini bukan kata saya, ini stament Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA., Ph.D, (kalau mau protes, ya protes sama beliau).

Hal ini sejalan dengan makna kebebasan pers sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pers no.40 tahun 1999 dimana tidak satupun dari pasal-pasal dalam UU Pers yang mewajibkan UKW sebagai bentuk keabsahan seorang jurnalis. Bahkan, diberbagai kesempatan, saya sering katakan “Kalaulah, keabsahan seorang jurnalis itu dinilai dari UKW nya itu sama saja dengan mengkhianati UU Pers itu sendiri”. Mungkin bapak Kabid yang kurang nalar lupa, kalau sesepuh sesepuh pers dahulu kala semisal Mahbub Djunaidi, Adam Malik, Raden Mas Tirto Suryo (dan banyak lagi) para wartawan sepuh tidak membutuhkan jargon UKW untuk dikenal karyanya oleh seluruh dunia?

Terlepas dari itu semua, apapun statement dan pertanyaan konyol dari seorang Kabid, dalam tulisan ini pun kami ingin menginformasikan kalau media lensafakta.com sudah teregistrasi secara faktual di Dewan Pers semenjak 2022, yang mana tentunya, saya selaku Pemimpin Redaksi sudah memiliki sertifikasi UKW yang dimaksud pak Kabid sebagai salah satu syarat utama untuk pendaftaran. Semua ini kami lakukan bukan untuk pembelaan diri, polemik “sampah” UKW ini dari dulu kami suarakan untuk menepis kekeliruan dalam berfikir para pejabat pemerintah, ASN, Dinas, Instansi, (dan lainnya) dimana UKW dianggap menjadi salah satu bentuk keabsahan seorang jurnalis, sehingga menerapkan standarisasi “dungu” dimana yang dilayani hanya wartawan yang sudah UKW saja.

Terakhir, kami mengutip perkataan seorang tokoh filsuf “prof” Rocky Gerung dimana beliau sering katakan,

“Ijazah itu tanda seseorang pernah sekolah, bukan tanda seseorang pernah berfikir”!