Sederet Hobi dan Fakta Mengejutkan Kisah Pangeran Diponegoro
Nama Pangeran Diponegoro tentunya sudah tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia. Sosoknya dikenang sebagai pahlawan nasional sekaligus penentang penjajah Belanda yang paling sulit ditaklukkan.
Kala itu, Perang Diponegoro pecah dalam kurun waktu tahun 1825-1830 mencakup wilayah-wilayah di Jawa, sehingga disebut juga Perang Jawa.
Perang yang terjadi selama lima tahun itu menjadi sejarah besar, bukan hanya lantaran biayanya dan korbannya yang berjumlah fantastis. Tetapi ini adalah perang yang membuat Belanda hampir meruntuhkah kedaulatan Keraton Yogyakarta.
Perang selama lima tahun (20 Juli 1825-28 Maret 1830) itu penuh dengan aspek sosial politik, termasuk kebencian Diponegoro terhadap korupsi dan keinginannya membentuk negara Islam.
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Ia meninggal di pengasingannya di Makassar, Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855.
Sosok Pangeran Diponegoro menjadi bahan kajian banyak peneliti. Salah satunya Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford, yang telah meneliti Diponegoro selama 30 tahun.
Peter Carey, yang kini mengajar di Universitas Indonesia menceritakan awal mula “pertemuannya” dengan Pangeran Diponegoro adalah saat dia mencari referensi penulisan Revolusi Prancis. Ketika membongkar arsip dan pustaka, matanya bersirobok dengan lukisan sosok Diponegoro yang mistis dan magis.
Peter Carey yang menulis buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014) dan Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (2012) menuliskan ada banyak aspek tentang Pangeran Diponegoro yang terasa ‘lebih aneh dibandingkan khayalan’.
Salah satunya adalah Diponegoro bukan nama asli. Sang pangeran memperoleh namanya dari bahasa Sansekerta, yakni dipa yang berarti ‘cahaya’ dan nagara yang berarti ‘negara’.