Realita wartawan “ala-ala” vs “kartu sakti”.

Lensafakta.com, Purwakarta – 12/03/23 , Maraknya media online yang tumbuh berkembang di negri +62 ini, memunculkan sebuah tanda tanya, apakah semudah itu mendirikan sebuah “perusahaan” pers yang notabenenya adalah sebagai social control dengan akses yang “unlimited” yang dilindungi oleh undang-undang pokok pers no.40 tahun 1999?
Mari sedikit kita kupas, setiap perusahaan pers, baik media cetak, online, maupun televisi telah diatur dalam UU Pokok pers no.40 pada pasal 5 yakni
•Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
•Pers wajib melayani Hak Jawab.
•Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Dari penjelasan diatas, dapatlah sedikit disimpulkan bahwasanya setiap pemberitaan yang dirilis di media masa HARUS lah sesuai dengan fakta dan realita serta tidak memihak, maka disini timbul kembali sebuah pertanyaan, apakah setiap insan pers baik wartawan, reporter, ataupun sekelas pimrednya memiliki kemampuan yang mumpuni untuk menampilkan pemberitaan yang netral tanpa ada opini atau tendesni pribadi kepada suatu pihak yang diberitakan?
Terlepas dari itu semua, terkadang kita bertanya-tanya, apa sih sebetulnya kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang wartawan?
Ironi yang terjadi dikalangan masyarakat banyak saat ini adalah, seseorang yang sama sekali tidak memiliki basic didunia jurnalistik dengan MUDAHNYA mendapatkan “kartu sakti” (Kartu Tanda Anggota pers – red) sebuah media online YANG KATANYA memiliki “kesaktian” menerobos birokrasi dengan dalih perlindungan UU Pers tahun 40, Lalu sebetulnya benarkah pemegang kartu sakti tersebut memiliki hak akses yang sangat luas dan dilindungi undang-undang?
Pada HPN 2023 yang diadakan di medan, presiden Jokowi telah memberikan statement yang seolah2 memberikan “angin segar” bagi insan pers nusantara, pasalnya beliau mengatakan perusahaan pers tidak perlu lagi mendaftarkan medianya ke Dewan Pers yang mana merupakan KIBLAT dari para jurnalis Indonesia, NAMUN perlu digaris bawahi bahwa maksud dan tujuan tersebut bukan berarti memberi kebebasan yang tanpa aturan kepada perusahaan pers, akan tetapi memberikan kebijakan yang mendukung perusahaan pers menjadi perusahaan yang profesional.
Disamping itu, perlu adanya pengawasan dari berbagai pihak seperti organisasi yang memang berkompeten dibidangnya, agar MARWAH jurnalis dimata public tetap terjaga dan tidak terkesan “asal-asalan” .
Oleh karenanya, perusahaan pers dituntut untuk menjadi profesional serta betul-betul memahami tentang aturan-aturan perundang-undangan khususnya dibidang pers. Kode etik jurnalis juga menjadi pokok landasan bagi setiap anggota pers disebuah media cetak/online, yang mana dasar-dasar tersebut menjadi sebuah pegangan bagi setiap jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Dengan demikian, cukup difahami, menjadi seorang jurnalis profesional tak mesti memiliki “pengakuan” SKW / UKW dari tuan-tuan terhormat di DEWAN PERS, ingat Mahbub Djunaedi dan Adam Malik? dua legend ini merupakan SESEPUH pers yang tak pernah menelan pendidikan jurnalistik, so? Dari merekalah kita belajar banyak hal, bahwa ijazah atau sertifikat bukanlah menjadi tolak ukur kemampuan atau skill seseorang,
salam satu pena…
Purwakarta, 12/03/23
Rendy Rahmantha Yusri