Beda Antara Shodaqoh Politik dan Shodaqoh Suara, Shodaqoh Politik Akan Bergeser Pada Money Politik
Note : Artikel ini dibuat sebagai tanggapan Atas Wawancara dan Gagasan Shodaqoh Suara Dari Caleg Golkar No.5 Sachrial,SH Dapil Jabar 11 (Sumedang,Majalengka,Subang)
Lensafakta.com, Cirebon ||Orang-orang yang berani tampil dalam kontestasi panggung elektoral sudah semestinya menempatkan diri mereka sebagai komunikator-komunikator yang handal di hadapan para pemilih. Mereka harus mampu mengekspresikan diri untuk meyakinkan orang lain, ketimbang mengekspresikan materi (uang dan barang).
Mereka harus mampu membentuk jaringan sosial, ketimbang mengkonstruksi ekspektasi sosial. Saat mereka gagal melakukan komunikasi dengan pemilih, maka yang akan terjadi adalah terhambatnya saling pengertian, kerja sama, toleransi, sekaligus menghalangi pelaksanaan norma-norma sosial.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh para caleg sebagai komunikator untuk dapat mempersuaasi pemilih agar dapat memberikan shodaqoh suaranya (bukan shodaqoh politik) yang dalam konteks Al-Quran disebut dengan Qawlan Balighan, sebagaimana pernah juga dijelaskan oleh Aristoteles.
Pertama adalah _ethos_, yang merujuk kepada kualitas personal. Caleg yang jujur, dapat dipercaya, dan memiliki pengetahuan yang memadai akan dapat secara efektif mempengaruhi pemilih. Kedua, _logos_, para caleg harus mampu meyakinkan pemilih secara argumentatif, mengajak pemilih menggunakan akal sehat dan membimbing sikap kritis. Ketiga, _pathos_, dimana para cara harus membujuk pemilih dengan sentuhan emosi.
Pemberian materi (uang, barang) untuk mempengaruhi keputusan pemilih bukanlah shodaqoh politik. Bagaimana mungkin para caleg yang berada pada _bargaining position_ yang lemah di hadapan pemilih berani bersedekah? Bagaimana mungkin dikatakan para caleg yang membutuhkan suara pemilih memberikan shodaqoh-nya? Bagaimana mungkin shadaqoh hanya dilakukan lima tahun sekali saat tahun politik tiba? Bagaimana mungkin dikatakan shodaqoh ketika diberikan dengan tidak tulus dan dengan pamrih?
Shodaqoh politik para caleg ( _vote buying_ ) yg bermetamorfosa menjadi _money politics_ itu sendiri dalam istilah agama dikenal _risywah siyasiyah_, bukan sodaqoh. Dalam kitab-kitab fiqih, definisi shodaqoh sudah jelas. _”Wa innamas sodaqatu summiyatis sodaqatu sodaqatan lisidhqi niyyati sahibiha”_. Shodaqoh itu disebut shodaqoh hanya karena ketulusan niat pemberinya tanpa pamrih. Sedangkah niat shodaqoh politik (memberikan sejumlah uang atau barang) itu sudah tidak benar. Niatnya jelas memengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi. Karenanya, praktik itu bukan lagi shodaqoh, tetapi _risywah siyasiyah_.
Dalam perspektif fiqih dijelaskan bahwa disebut _risywah_ bila ada unsur _athiyyah_ ( *pemberian*), niat _istimalah_ ( *menarik simpati orang lain*), tujuannya _ibtholul haq_ ( *membatalkan yang benar*) dan _ihqaqul bathil_ ( *merealisasikan kebatilan*), _al mahsubiyah bighoiril haq_ ( *mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan*), dan _al hushul alal manafi’_ ( *mendapat kepentingan yang bukan haknya*). Demikian unsur ini terpenuhi, maka sedekah politik atau politik uang adalah _risywah_ yang dilarang.
Jadi, jelas ada perbedaan substansial antara shodaqoh politik dan shodaqoh suara. Shodaqoh politik diberikan oleh para caleg kepada pemilih dengan tidak tulus, ada pamrih. Shodaqoh suara diberikan oleh pemilih atas dasar kepercayaan, dengan kesadaran penuh, sikap kritis, penuh dengan ketulusan. Shodaqoh politik akan bermuara pada ke _mudlaratan_, baik dari sisi etika, moral, dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial. Sementara shodaqoh suara akan membawa kepada kemaslahatan.
Sebagai penutup, penulis ingin mengingatkan bahwa memilih dan mengangkat wakil rakyat atau pemimpin karena pertimbangan dunia, seperti yang terjadi saat ini, tidak akan pernah membawa kebaikan. _”Rajulun baya‘a imamahu la yubayi‘uhu illa lidunya. Fa in a’thahu minha, radliya. Wa in lam yu’thihi minha, sakhitha”_. (Seseorang yang mengangkat pemimpinnya di mana ia mengangkat pemimpinnya karena dunia. Kalau pemimpinnya memberikan sesuatu duniawi, ia senang. Kalau tidak, ia akan kecewa)
********
Penulias artikel : Arie Setiawan
(Pengamat Politik dan Sosial Cirebon)